Dalam
sebulan ini, psikologis saya benar-benar terombang ambing. Ini lucu, saya
adalah lulusan psikologi yang seakan membutuhkan seorang psikolog.
Di bulan
ini, saya telah dua kali menolak pekerjaan, bukan murni karna kemauan saya,
namun lebih didasari lingkungan yang tidak mendukung. Ini bukan pengalaman yang
baik, namun ini lebih ke pengalaman yang buruk. Karena terkadang, menolak
pekerjaan jauh lebih menyakitkan dibandingkan ditolak pekerjaan.
Pengalaman
pertama saya menolak pekerjaan adalah dimulai ketika saya datang ke sebuah
acara jobfair di Banjarmasin. Saya iseng meletakkan lamaran ke sebuah
perusahaan yang lumayan besar dimana ia membuka cabang di kota saya ini. Saya
mengikuti seleksi bersama seratusan orang, tes tersebut terbagi menjadi 3 tahap yang
dilaksanakan dalam 2 bulan. Seleksi administrasi, psikotes, hingga wawancara.
Saya pun lolos hingga tahap wawancara, dimana mulai muncul lah keraguan saya.
Peserta yang lolos saat itu tertinggal menjadi 4 orang. Ketika wawancara, saya
baru mengetahui bahwa wilayah kerja yang harus saya tangani adalah Kalimantan
selatan dan Kalimantan tengah, dimana akan banyak perjalanan keluar kota yang
harus di jalani. Dan ketika saya diskusikan ke keluarga, ternyata dari keluarga
kurang memberikan dukungan. Betapa kagetnya saya ketika mas dari pihak
perusahaan mengabari bahwa saya adalah satu-satunya yang terpilih untuk menjadi
bagian dari perusahaan tersebut dan disiapkan untuk pergi menemui bos di kantor
pusat di Jakarta sebelum bekerja di Banjarmasin. Posisi yang ditawarkan pun
termasuk salah satu posisi tinggi untuk seorang fresh graduate seperti saya,
hingga fasilitas-fasilitas dan gaji yang ditawarkan begitu sangat menggoda
(yang tentu sesuai dengan beratnya tanggungjawab saya bila bekerja disitu).