Saturday, October 24, 2015

The best Psychologist




Dalam sebulan ini, psikologis saya benar-benar terombang ambing. Ini lucu, saya adalah lulusan psikologi yang seakan membutuhkan seorang psikolog.

Di bulan ini, saya telah dua kali menolak pekerjaan, bukan murni karna kemauan saya, namun lebih didasari lingkungan yang tidak mendukung. Ini bukan pengalaman yang baik, namun ini lebih ke pengalaman yang buruk. Karena terkadang, menolak pekerjaan jauh lebih menyakitkan dibandingkan ditolak pekerjaan.

Pengalaman pertama saya menolak pekerjaan adalah dimulai ketika saya datang ke sebuah acara jobfair di Banjarmasin. Saya iseng meletakkan lamaran ke sebuah perusahaan yang lumayan besar dimana ia membuka cabang di kota saya ini. Saya mengikuti seleksi bersama seratusan orang, tes tersebut terbagi menjadi 3 tahap yang dilaksanakan dalam 2 bulan. Seleksi administrasi, psikotes, hingga wawancara. Saya pun lolos hingga tahap wawancara, dimana mulai muncul lah keraguan saya. Peserta yang lolos saat itu tertinggal menjadi 4 orang. Ketika wawancara, saya baru mengetahui bahwa wilayah kerja yang harus saya tangani adalah Kalimantan selatan dan Kalimantan tengah, dimana akan banyak perjalanan keluar kota yang harus di jalani. Dan ketika saya diskusikan ke keluarga, ternyata dari keluarga kurang memberikan dukungan. Betapa kagetnya saya ketika mas dari pihak perusahaan mengabari bahwa saya adalah satu-satunya yang terpilih untuk menjadi bagian dari perusahaan tersebut dan disiapkan untuk pergi menemui bos di kantor pusat di Jakarta sebelum bekerja di Banjarmasin. Posisi yang ditawarkan pun termasuk salah satu posisi tinggi untuk seorang fresh graduate seperti saya, hingga fasilitas-fasilitas dan gaji yang ditawarkan begitu sangat menggoda (yang tentu sesuai dengan beratnya tanggungjawab saya bila bekerja disitu).

The best Psychologist




Dalam sebulan ini, psikologis saya benar-benar terombang ambing. Ini lucu, saya adalah lulusan psikologi yang seakan membutuhkan seorang psikolog.

Di bulan ini, saya telah dua kali menolak pekerjaan, bukan murni karna kemauan saya, namun lebih didasari lingkungan yang tidak mendukung. Ini bukan pengalaman yang baik, namun ini lebih ke pengalaman yang buruk. Karena terkadang, menolak pekerjaan jauh lebih menyakitkan dibandingkan ditolak pekerjaan.

Pengalaman pertama saya menolak pekerjaan adalah dimulai ketika saya datang ke sebuah acara jobfair di Banjarmasin. Saya iseng meletakkan lamaran ke sebuah perusahaan yang lumayan besar dimana ia membuka cabang di kota saya ini. Saya mengikuti seleksi bersama seratusan orang, tes tersebut terbagi menjadi 3 tahap yang dilaksanakan dalam 2 bulan. Seleksi administrasi, psikotes, hingga wawancara. Saya pun lolos hingga tahap wawancara, dimana mulai muncul lah keraguan saya. Peserta yang lolos saat itu tertinggal menjadi 4 orang. Ketika wawancara, saya baru mengetahui bahwa wilayah kerja yang harus saya tangani adalah Kalimantan selatan dan Kalimantan tengah, dimana akan banyak perjalanan keluar kota yang harus di jalani. Dan ketika saya diskusikan ke keluarga, ternyata dari keluarga kurang memberikan dukungan. Betapa kagetnya saya ketika mas dari pihak perusahaan mengabari bahwa saya adalah satu-satunya yang terpilih untuk menjadi bagian dari perusahaan tersebut dan disiapkan untuk pergi menemui bos di kantor pusat di Jakarta sebelum bekerja di Banjarmasin. Posisi yang ditawarkan pun termasuk salah satu posisi tinggi untuk seorang fresh graduate seperti saya, hingga fasilitas-fasilitas dan gaji yang ditawarkan begitu sangat menggoda (yang tentu sesuai dengan beratnya tanggungjawab saya bila bekerja disitu).