Bismillahirrahmannirahiim
Huaaa.. sedih sekali ketika kau mengetahui bahwa dirimu adalah yang terbodoh di dalam kelas.
Jadi cerita nya begini, malam ini
adalah pertemuan ke 3 untuk les bahasa Jerman saya di pusman UGM. Pada
pertemuan awal, semua terasa wajar dan biasa saja. Saya masih sanggup untuk
mengikuti ritme belajar teman-teman sekelas saya yang lain, yang padahal notebene
nya kebanyakan dari mereka telah mempunyai dasar bahasa Jerman yang lumayan
kuat. Sedangkan saya ? Belum ada sama sekali. Saya pun masih kurang mengerti
alasan mengapa mereka memilih level 1 yang seharusnya adalah tempat bagi
seorang pemula seperti saya. Melihat hal itu, ritme belajar bahasa Jerman kami
pun dipercepat oleh coach nya.
Saya yang awalnya hanya melongo sedikit ketika berada di kelas, pada malam ini semakin
lebih melongo lagi dari sebelumnya. Hiks. Benar-benar seperti orang….. bego.
Malam ini kami belajar tentang
angka dalam bahasa Jerman. Karena itu adalah hal yang umum, mungkin bagi mereka yang memang
telah mengenal bahasa Jerman menganggap bahwa materi tersebut adalah hal yang sangat
sepele. Mereka dapat menyebutnnya dengan cepat dan tepat tentang penyusunan dan
pengucapannya. Lah saya ? Masih terbelit-belit dengan aturan penulisan dan
pengucapannya. Otak saya masih memerlukan loading
yang cukup lama untuk memberikan respon balik atas susunan angka-angka
tersebut. Respon terlama adalah ketika coach
nya menyebut angka ribuan dan kami harus mengucapkannya dalam bahasa Jerman.
Misal :
6 = Sechs
16 = Sechzehn
60 = Sechzig
66 = Sechundsechzig
165 = Einhundertfṻndundsechzig
6.145 = Sechtausendeinhundertfṻnfundvierzig
(WTH!)
Dan apesnya saya, saya
mendapat giliran untuk menyebutkan angka ribuan ketika coach nya mendiktekan angka bahasa Indo dan meminta pada
masing-masing anak untuk mentranslate
nya ke dalam bahasa Jerman. Kami hanya diberi waktu sepersekian detik untuk
berpikir. Bahkan sebelumnya untuk menghafal angka 1-12 dan mempelajari cara penyusunan
struktur tulisan, beliau hanya menjelaskannya dalam hitungan kurang dari 5 menit. Bagi mereka yang sudah biasa diajarkan dari dulu, ini hanya lah
sepele mungkin. Lah bagi saya yang baru pertama kali mendengar, ini adalah hal
yang SUPER sekali.
Apalagi pas listening nya, kami disuruh menangkap
angka berapa yang disebutkan oleh sang speaker.
Dan tentu saja, saya gagal menangkap apa yang speaker sebutkan. Seperti berkumur-kumur dengan bahasa alien dari
planet antah berantah. Saya tidak sedang menjelek-jelekkan bahasa Jerman, saya
hanya menjelek-jelekkan kuping saya yang belum terbiasa dengan bahasa dan
dialek yang mereka gunakan. Sedangkan yang lain ? Lancar selancar hubungan dua
orang yang baru saling jatuh cinta. Asem! Saya merasa jadi seorang yang bertepuk
sebelah tangan sendirian. Ish.
Ada
coach nya bilang gini tadi di kelas, “
Ya, saya rasa kalian semua telah mendengarnya dengan baik. Ini lumayan mudah,
karena speaker menyebutkan angka nya
tidak terlalu cepat. “ . Lalu beliau menanyakan jawaban dari tiap nomor pada
anak yang ditunjuk. Semua menjawab dengan benar. Aih.. tidak tidak, tidak semua
maksud saya. Ya, tidak semua karena ada saya yang salah dalam menjawab. Bukan
salah dalam menjawab malah, tapi memang TIDAK TAHU harus menjawab apa. Saya
sama sekali tidak mengerti apa yang speaker
bicarakan, apalagi speaker berbicara full bahasa Jerman. Dan saya tidak bisa
membedakan kapan ia berbicara bahasa bukan angka, dan kapan ia menyebutkan derajat angka
yang dimaksud oleh coach.
“
Manda, jawaban nomor 5 ? “ – coach.
“
Ga tau.. ga jelas dengernya apa “ – Kalem.
“
Hah ? “ – Sahut coach dengan wajah
seperti terheran karena saya tidak mampu menjawab pertanyaan yang menurut nya MUDAH.
Lagi-lagi…
ASEM! Saya menjadi satu-satunya yang paling tidak bisa dalam berbahasa Jerman di
kelas.
Sebenarnya,
saya sangat menyukai coach, karena
beliau sangat lah baik. Beliau sepertinya seumuran dengan abah, beliau pun juga
sangat sopan. Tapi, beliau kurang baik dalam menyembunyikan ekspresi terkejut,
ekspresi terkejut dalam melihat kebodohan saya terutama. Saya sempat berpikir
bahwa mungkin saya adalah orang terbodoh pertama yang beliau temui selama
mengajar bahasa Jerman selama berpuluh-puluh tahun ini. Hiks.
Ada
ketika beliau menyebut angka 6, lalu orang yang duduknya paling ujung harus
mengalikan angka tersebut dengan 2 dan menyebut hasilnya dengan bahasa Jerman.
Lalu, orang yang disebelahnya mengalikan hasil tersebut lagi dengan 2, dan seterusnya.
Misal
: 6 , 12 , 24 , 48 , 96 , 192 , 384 , 768 , 1536 , dst .
Dan…. saya dapat angka 1.536.
Karena
waktu itu lisan, ketika disebelah saya menyebut angka 768, saya sudah terlanjur
panik dan tidak ada tenaga untuk mengalikannya dengan 2 di dalam otak saya. Akhirnya
saya malah bilang ke orang disebelah saya, “ mas tolong hitungin dong kalau
dikali 2 berapa “ , lalu coach nya
tertawa. Karena teman yang lain semuanya ngitung sendiri. Setelah dihitungin dan dapat angkanya, saya lalu menyebutkannya dalam
bahasa Jerman. Dan itu pun……. salah! (-________-) Asem pangkat seribu.
1536
= Yang benar -> Eintausendfṻndhundertsechundzwaizig
Saya menyebut ->Einhundertfṻndtausendsechundzwaizig
Padahal
ketika itu saya sudah dengan pedenya menyebut karena memikirkan jawabannya
lebih lama dibanding yang lain, pun saya telah membuka buku karena masih belum hapal dengan angka-angkanya (sedang yang lain gada yang buka buku), eh tapi ternyata........ salah juga.
Pas
belajar tentang grammar nya bahasa
Jerman juga, saya merasa menjadi yang paling… bodoh. Saking bingungnya,
saya sudah ga sungkan-sungkan dan jaim lagi untuk bertanya pada cowok yang
duduk disebelah saya. Yang padahal dulu pas pertemuan awal, saya pernah menolak
mati-matian pada coachnya untuk
ditaruh satu kelompok dengan mas nya (-___-). Padahal saat itu cuman kelompok
untuk saling berkenalan dan mengenalkan saja dalam bahasa Jerman.
“
Ee.. kamu, kamu, sama kamu, kalian bertiga satu kelompok ya.. “ – coach yang saat itu menunjuk saya, mas
dimas (mas yang td saya ceritakan), dan entah nama mas yang satunya.
“
Ber-ti-ga, pak ? “ – sahut saya cepat sambil menunjuk saya, Riska, dan mba
Indry.
“
Engga, kamu sama mereka, manda “ –
“
Eh jangan pak, kan ini juga bisa bertiga, biar mereka berdua aja “ – kata saya
cepat karena ga berani satu kelompok dengan mereka karna mereka cowok.
“
Bentar.. yaudah deh, berarti dimas sama xxxxx aja ya “ – kata coach nya menyerah.
Sebenarnya
mereka orang baik, kelihatan dari wujud mereka, hanya saja… ya, saya yang aneh.
Saya yang terkadang masih takut sendiri dengan laki-laki, apalagi dengan yang belum
dikenal. Maaf, kalian hanya korban dari ketakutan saya yang masih belum terlalu
bisa untuk saya kontrol. Apalagi si teman Dimas tadi pernah memakai baju koko pas
les, mereka benar-benar orang baik kalau menurut saya(?). Oh ya, perbandingan jumlah cowok sama cewek di kelas itu adalah 2 : 1 , cowoknya 10 dan ceweknya 5 orang.
Nah,
karena malam ini si Dimas sepertinya lagi ga beruntung karena duduk disebelah
saya lagi dan lagi, maka ia terus saya repotkan dengan berbagai pertanyaan
karena saya yang tidak mengerti akan materi tadi. Awalnya saya takut untuk
berbicara dengannya, tapi karena dia gabawa buku dan dia meminta saya untuk
berbagi buku dengannya, maka saya pun ga sungkan-sungkan lagi dalam
memanfaatkannya. Simbiosis apa nih namanya yang itu loh saling menguntungkan
satu sama lain~
Untung
lah si Dimas ini ternyata hebat dalam bahasa Jerman, bahkan ia terlihat seperti
sudah level atas dan sangat tidak layak untuk berada di level 1. Pada awalnya
dia yang bertanya duluan kepada saya, lah saya hanya bisa menjawab, “ Mas salah
nanya orang, saya ini yang paling pemula mas disini, kebalik kita, seharusnya
saya yang nanya “ . Dia tertawa. Dan karena kebodohannya itu lah saya jadi
mulai banyak bertanya kepadanya tentang pelajaran. Tapi, itu hanya
sebentar. Kemudian saya menyadari bahwa dia terlalu pintar sedang saya terlalu
bodoh. Lalu saya merasa malu sendiri, dan menghentikan deretan pertanyaan2 saya
agar tidak terlihat bodoh2 amat lagi. Malah saya menjadi minder ketika menjawab
soal dimana dia lancar dan sangat cepat dalam menjawab, sedang saya kebalikan
dari dia, salah dan.. lambat pula.
Ah,
pokoknya malam ini sungguh menyakitkan bagi saya. Untuk pertama kalinya saya
merasa menjadi yang super paling bodoh. Mungkin kalian tidak pernah merasakan
bagaimana rasanya menjadi seorang yang selalu salah dalam menjawab ketika semua
teman kalian yang lain selalu benar dalam menjawab. Kalau bodoh nya tidak
terlihat ya masih mending, lah ini karena si coach sangat suka menyuruh setiap anak menjawab secara lisan, ya jadi
langsung ketahuan siapa yang bisa dan enggak bisa dalam menjawab. Hiks. Atau
kalau bodoh nya secara massal juga masih lebih mendingan, lah ini kalian
bodohnya sendirian aja dan dikelilingi oleh orang yang pintar-pintar. Syedih
syekali pokoknya. Syakit rasanya.
Apalagi
pas pulang, tiba-tiba hujan deras. Tambah syakit hati ini. Tapi ya saya
berpikir, saya ingin pulang hujan-hujanan saja malam ini. Sebagai katarsis.
Siapa tau bisa kayak di film yang dia sengaja nangis pas lagi hujan deras biar ga
ketahuan orang lain. Niat awal saya sih gitu. Eh ternyata… tetap aja ga bisa
nangis, walau sesakit hati apapun saya malam ini. Yang ada pas pulang malah
kedinginan. Ish.
Tapi..
ketika di pikir-pikir lagi, saya tiba-tiba merasa bersyukur untuk kebodohan
diawal ini. Karena kebodohan diawal ini lah saya menjadi sadar dan ingin
berusaha lebih keras lagi dalam mempelajari bahasa jerman guna menyusul kemampuan
teman-teman yang lain. Kalau di komik sih, biasanya tokoh utama menjadi yang
paling bego dulu di awal cerita, lalu dia berusaha keras untuk belajar, dan
akhirnya tanpa teman-temannya sadari ia malah lebih maju dibanding yang lain.
Berkat usaha kerasnya yang ia lakukan disaat teman-teman lain bersantai karena
merasa bukan menjadi yang terbodoh. Dan semoga saya berhasil menjadi seperti sang
tokoh utama tersebut. Karena, berkat kebodohan diawal ini lah yang
membangkitkan semangat saya untuk menjadi lebih besar lagi, untuk melakukan
yang terbaik dari kapasitas yang dimiliki!
Karena
ketidakmampuan sekarang lah, semangat terbentuk dan mimpi itu tercipta.
Kalau
selalu mendapatkan apa yang diinginkan, mungkin kita tidak akan tergerak untuk
mempunyai sebuah impian. Padahal hidup tanpa mempunyai sebuah impian adalah hal
yang sangat membosankan, menurut saya. Jadi, bersyukur lah dengan
ketidakmampuanmu diawal. Itu akan membuatmu untuk tumbuh menjadi lebih kuat.
Semoga saja, aamiin.
Fighting,
0 comments:
Post a Comment