Thursday, October 24, 2013

Fighting

Bismillahirrahmannirahiim



Huaaa.. sedih sekali ketika kau mengetahui bahwa dirimu adalah yang terbodoh di dalam kelas.
Jadi cerita nya begini, malam ini adalah pertemuan ke 3 untuk les bahasa Jerman saya di pusman UGM. Pada pertemuan awal, semua terasa wajar dan biasa saja. Saya masih sanggup untuk mengikuti ritme belajar teman-teman sekelas saya yang lain, yang padahal notebene nya kebanyakan dari mereka telah mempunyai dasar bahasa Jerman yang lumayan kuat. Sedangkan saya ? Belum ada sama sekali. Saya pun masih kurang mengerti alasan mengapa mereka memilih level 1 yang seharusnya adalah tempat bagi seorang pemula seperti saya. Melihat hal itu, ritme belajar bahasa Jerman kami pun dipercepat oleh coach nya. Saya yang awalnya hanya melongo sedikit ketika berada di kelas, pada malam ini semakin lebih melongo lagi dari sebelumnya. Hiks. Benar-benar seperti orang….. bego.

Malam ini kami belajar tentang angka dalam bahasa Jerman. Karena itu adalah hal  yang umum, mungkin bagi mereka yang memang telah mengenal bahasa Jerman menganggap bahwa materi tersebut adalah hal yang sangat sepele. Mereka dapat menyebutnnya dengan cepat dan tepat tentang penyusunan dan pengucapannya. Lah saya ? Masih terbelit-belit dengan aturan penulisan dan pengucapannya. Otak saya masih memerlukan loading yang cukup lama untuk memberikan respon balik atas susunan angka-angka tersebut. Respon terlama adalah ketika coach nya menyebut angka ribuan dan kami harus mengucapkannya dalam bahasa Jerman.
Misal :
6   = Sechs
16 = Sechzehn
60 = Sechzig
66 = Sechundsechzig
165 = Einhundertfṻndundsechzig
6.145 = Sechtausendeinhundertfṻnfundvierzig (WTH!)
           
Dan apesnya saya, saya mendapat giliran untuk menyebutkan angka ribuan ketika coach nya mendiktekan angka bahasa Indo dan meminta pada masing-masing anak untuk mentranslate nya ke dalam bahasa Jerman. Kami hanya diberi waktu sepersekian detik untuk berpikir. Bahkan sebelumnya untuk menghafal angka 1-12 dan mempelajari cara penyusunan struktur tulisan, beliau hanya menjelaskannya dalam hitungan kurang dari 5 menit. Bagi mereka yang sudah biasa diajarkan dari dulu, ini hanya lah sepele mungkin. Lah bagi saya yang baru pertama kali mendengar, ini adalah hal yang SUPER sekali.

Apalagi pas listening nya, kami disuruh menangkap angka berapa yang disebutkan oleh sang speaker. Dan tentu saja, saya gagal menangkap apa yang speaker sebutkan. Seperti berkumur-kumur dengan bahasa alien dari planet antah berantah. Saya tidak sedang menjelek-jelekkan bahasa Jerman, saya hanya menjelek-jelekkan kuping saya yang belum terbiasa dengan bahasa dan dialek yang mereka gunakan. Sedangkan yang lain ? Lancar selancar hubungan dua orang yang baru saling jatuh cinta. Asem! Saya merasa jadi seorang yang bertepuk sebelah tangan sendirian. Ish.

Ada coach nya bilang gini tadi di kelas, “ Ya, saya rasa kalian semua telah mendengarnya dengan baik. Ini lumayan mudah, karena speaker menyebutkan angka nya tidak terlalu cepat. “ . Lalu beliau menanyakan jawaban dari tiap nomor pada anak yang ditunjuk. Semua menjawab dengan benar. Aih.. tidak tidak, tidak semua maksud saya. Ya, tidak semua karena ada saya yang salah dalam menjawab. Bukan salah dalam menjawab malah, tapi memang TIDAK TAHU harus menjawab apa. Saya sama sekali tidak mengerti apa yang speaker bicarakan, apalagi speaker berbicara full bahasa Jerman. Dan saya tidak bisa membedakan kapan ia berbicara bahasa bukan angka, dan kapan ia menyebutkan derajat angka yang dimaksud oleh coach.
“ Manda, jawaban nomor 5 ? “ – coach.
“ Ga tau.. ga jelas dengernya apa “ – Kalem.
“ Hah ? “ – Sahut coach dengan wajah seperti terheran karena saya tidak mampu menjawab pertanyaan yang menurut nya MUDAH.

Lagi-lagi… ASEM! Saya menjadi satu-satunya yang paling tidak bisa dalam berbahasa Jerman di kelas.

Sebenarnya, saya sangat menyukai coach, karena beliau sangat lah baik. Beliau sepertinya seumuran dengan abah, beliau pun juga sangat sopan. Tapi, beliau kurang baik dalam menyembunyikan ekspresi terkejut, ekspresi terkejut dalam melihat kebodohan saya terutama. Saya sempat berpikir bahwa mungkin saya adalah orang terbodoh pertama yang beliau temui selama mengajar bahasa Jerman selama berpuluh-puluh tahun ini. Hiks.

Ada ketika beliau menyebut angka 6, lalu orang yang duduknya paling ujung harus mengalikan angka tersebut dengan 2 dan menyebut hasilnya dengan bahasa Jerman. Lalu, orang yang disebelahnya mengalikan hasil tersebut lagi dengan 2, dan seterusnya.
Misal : 6 , 12 , 24 , 48 , 96 , 192 , 384 , 768 , 1536 , dst .
Dan…. saya dapat angka 1.536.

Karena waktu itu lisan, ketika disebelah saya menyebut angka 768, saya sudah terlanjur panik dan tidak ada tenaga untuk mengalikannya dengan 2 di dalam otak saya. Akhirnya saya malah bilang ke orang disebelah saya, “ mas tolong hitungin dong kalau dikali 2 berapa “ , lalu coach nya tertawa. Karena teman yang lain semuanya ngitung sendiri. Setelah dihitungin dan dapat angkanya, saya lalu menyebutkannya dalam bahasa Jerman. Dan itu pun……. salah! (-________-) Asem pangkat seribu.

1536 = Yang benar ->  Eintausendfṻndhundertsechundzwaizig
        Saya menyebut ->Einhundertfṻndtausendsechundzwaizig

Padahal ketika itu saya sudah dengan pedenya menyebut karena memikirkan jawabannya lebih lama dibanding yang lain, pun saya telah membuka buku karena masih belum hapal dengan angka-angkanya (sedang yang lain gada yang buka buku), eh tapi ternyata........ salah juga. 

Pas belajar tentang grammar nya bahasa Jerman juga, saya merasa menjadi yang paling… bodoh. Saking bingungnya, saya sudah ga sungkan-sungkan dan jaim lagi untuk bertanya pada cowok yang duduk disebelah saya. Yang padahal dulu pas pertemuan awal, saya pernah menolak mati-matian pada coachnya untuk ditaruh satu kelompok dengan mas nya (-___-). Padahal saat itu cuman kelompok untuk saling berkenalan dan mengenalkan saja dalam bahasa Jerman.
“ Ee.. kamu, kamu, sama kamu, kalian bertiga satu kelompok ya.. “ – coach yang saat itu menunjuk saya, mas dimas (mas yang td saya ceritakan), dan entah nama mas yang satunya.
“ Ber-ti-ga, pak ? “ – sahut saya cepat sambil menunjuk saya, Riska, dan mba Indry.
“ Engga, kamu sama mereka, manda “ –
“ Eh jangan pak, kan ini juga bisa bertiga, biar mereka berdua aja “ – kata saya cepat karena ga berani satu kelompok dengan mereka karna mereka cowok.
“ Bentar.. yaudah deh, berarti dimas sama xxxxx aja ya “ – kata coach nya menyerah.

Sebenarnya mereka orang baik, kelihatan dari wujud mereka, hanya saja… ya, saya yang aneh. Saya yang terkadang masih takut sendiri dengan laki-laki, apalagi dengan yang belum dikenal. Maaf, kalian hanya korban dari ketakutan saya yang masih belum terlalu bisa untuk saya kontrol. Apalagi si teman Dimas tadi pernah memakai baju koko pas les, mereka benar-benar orang baik kalau menurut saya(?). Oh ya, perbandingan jumlah cowok sama cewek di kelas itu adalah 2 : 1 , cowoknya 10 dan ceweknya 5 orang.

Lah ko nyambungnya kesini to piye

Nah, karena malam ini si Dimas sepertinya lagi ga beruntung karena duduk disebelah saya lagi dan lagi, maka ia terus saya repotkan dengan berbagai pertanyaan karena saya yang tidak mengerti akan materi tadi. Awalnya saya takut untuk berbicara dengannya, tapi karena dia gabawa buku dan dia meminta saya untuk berbagi buku dengannya, maka saya pun ga sungkan-sungkan lagi dalam memanfaatkannya. Simbiosis apa nih namanya yang itu loh saling menguntungkan satu sama lain~

Untung lah si Dimas ini ternyata hebat dalam bahasa Jerman, bahkan ia terlihat seperti sudah level atas dan sangat tidak layak untuk berada di level 1. Pada awalnya dia yang bertanya duluan kepada saya, lah saya hanya bisa menjawab, “ Mas salah nanya orang, saya ini yang paling pemula mas disini, kebalik kita, seharusnya saya yang nanya “ . Dia tertawa. Dan karena kebodohannya itu lah saya jadi mulai banyak bertanya kepadanya tentang pelajaran. Tapi, itu hanya sebentar. Kemudian saya menyadari bahwa dia terlalu pintar sedang saya terlalu bodoh. Lalu saya merasa malu sendiri, dan menghentikan deretan pertanyaan2 saya agar tidak terlihat bodoh2 amat lagi. Malah saya menjadi minder ketika menjawab soal dimana dia lancar dan sangat cepat dalam menjawab, sedang saya kebalikan dari dia, salah dan.. lambat pula.

Ah, pokoknya malam ini sungguh menyakitkan bagi saya. Untuk pertama kalinya saya merasa menjadi yang super paling bodoh. Mungkin kalian tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang yang selalu salah dalam menjawab ketika semua teman kalian yang lain selalu benar dalam menjawab. Kalau bodoh nya tidak terlihat ya masih mending, lah ini karena si coach sangat suka menyuruh setiap anak menjawab secara lisan, ya jadi langsung ketahuan siapa yang bisa dan enggak bisa dalam menjawab. Hiks. Atau kalau bodoh nya secara massal juga masih lebih mendingan, lah ini kalian bodohnya sendirian aja dan dikelilingi oleh orang yang pintar-pintar. Syedih syekali pokoknya. Syakit rasanya.

Apalagi pas pulang, tiba-tiba hujan deras. Tambah syakit hati ini. Tapi ya saya berpikir, saya ingin pulang hujan-hujanan saja malam ini. Sebagai katarsis. Siapa tau bisa kayak di film yang dia sengaja nangis pas lagi hujan deras biar ga ketahuan orang lain. Niat awal saya sih gitu. Eh ternyata… tetap aja ga bisa nangis, walau sesakit hati apapun saya malam ini. Yang ada pas pulang malah kedinginan. Ish.

Tapi.. ketika di pikir-pikir lagi, saya tiba-tiba merasa bersyukur untuk kebodohan diawal ini. Karena kebodohan diawal ini lah saya menjadi sadar dan ingin berusaha lebih keras lagi dalam mempelajari bahasa jerman guna menyusul kemampuan teman-teman yang lain. Kalau di komik sih, biasanya tokoh utama menjadi yang paling bego dulu di awal cerita, lalu dia berusaha keras untuk belajar, dan akhirnya tanpa teman-temannya sadari ia malah lebih maju dibanding yang lain. Berkat usaha kerasnya yang ia lakukan disaat teman-teman lain bersantai karena merasa bukan menjadi yang terbodoh. Dan semoga saya berhasil menjadi seperti sang tokoh utama tersebut. Karena, berkat kebodohan diawal ini lah yang membangkitkan semangat saya untuk menjadi lebih besar lagi, untuk melakukan yang terbaik dari kapasitas yang dimiliki!

Karena ketidakmampuan sekarang lah, semangat terbentuk dan mimpi itu tercipta.

Kalau selalu mendapatkan apa yang diinginkan, mungkin kita tidak akan tergerak untuk mempunyai sebuah impian. Padahal hidup tanpa mempunyai sebuah impian adalah hal yang sangat membosankan, menurut saya. Jadi, bersyukur lah dengan ketidakmampuanmu diawal. Itu akan membuatmu untuk tumbuh menjadi lebih kuat. Semoga saja, aamiin.

Fighting,

0 comments:

Post a Comment

Fighting

Bismillahirrahmannirahiim



Huaaa.. sedih sekali ketika kau mengetahui bahwa dirimu adalah yang terbodoh di dalam kelas.
Jadi cerita nya begini, malam ini adalah pertemuan ke 3 untuk les bahasa Jerman saya di pusman UGM. Pada pertemuan awal, semua terasa wajar dan biasa saja. Saya masih sanggup untuk mengikuti ritme belajar teman-teman sekelas saya yang lain, yang padahal notebene nya kebanyakan dari mereka telah mempunyai dasar bahasa Jerman yang lumayan kuat. Sedangkan saya ? Belum ada sama sekali. Saya pun masih kurang mengerti alasan mengapa mereka memilih level 1 yang seharusnya adalah tempat bagi seorang pemula seperti saya. Melihat hal itu, ritme belajar bahasa Jerman kami pun dipercepat oleh coach nya. Saya yang awalnya hanya melongo sedikit ketika berada di kelas, pada malam ini semakin lebih melongo lagi dari sebelumnya. Hiks. Benar-benar seperti orang….. bego.

Malam ini kami belajar tentang angka dalam bahasa Jerman. Karena itu adalah hal  yang umum, mungkin bagi mereka yang memang telah mengenal bahasa Jerman menganggap bahwa materi tersebut adalah hal yang sangat sepele. Mereka dapat menyebutnnya dengan cepat dan tepat tentang penyusunan dan pengucapannya. Lah saya ? Masih terbelit-belit dengan aturan penulisan dan pengucapannya. Otak saya masih memerlukan loading yang cukup lama untuk memberikan respon balik atas susunan angka-angka tersebut. Respon terlama adalah ketika coach nya menyebut angka ribuan dan kami harus mengucapkannya dalam bahasa Jerman.
Misal :
6   = Sechs
16 = Sechzehn
60 = Sechzig
66 = Sechundsechzig
165 = Einhundertfṻndundsechzig
6.145 = Sechtausendeinhundertfṻnfundvierzig (WTH!)
           
Dan apesnya saya, saya mendapat giliran untuk menyebutkan angka ribuan ketika coach nya mendiktekan angka bahasa Indo dan meminta pada masing-masing anak untuk mentranslate nya ke dalam bahasa Jerman. Kami hanya diberi waktu sepersekian detik untuk berpikir. Bahkan sebelumnya untuk menghafal angka 1-12 dan mempelajari cara penyusunan struktur tulisan, beliau hanya menjelaskannya dalam hitungan kurang dari 5 menit. Bagi mereka yang sudah biasa diajarkan dari dulu, ini hanya lah sepele mungkin. Lah bagi saya yang baru pertama kali mendengar, ini adalah hal yang SUPER sekali.

Apalagi pas listening nya, kami disuruh menangkap angka berapa yang disebutkan oleh sang speaker. Dan tentu saja, saya gagal menangkap apa yang speaker sebutkan. Seperti berkumur-kumur dengan bahasa alien dari planet antah berantah. Saya tidak sedang menjelek-jelekkan bahasa Jerman, saya hanya menjelek-jelekkan kuping saya yang belum terbiasa dengan bahasa dan dialek yang mereka gunakan. Sedangkan yang lain ? Lancar selancar hubungan dua orang yang baru saling jatuh cinta. Asem! Saya merasa jadi seorang yang bertepuk sebelah tangan sendirian. Ish.

Ada coach nya bilang gini tadi di kelas, “ Ya, saya rasa kalian semua telah mendengarnya dengan baik. Ini lumayan mudah, karena speaker menyebutkan angka nya tidak terlalu cepat. “ . Lalu beliau menanyakan jawaban dari tiap nomor pada anak yang ditunjuk. Semua menjawab dengan benar. Aih.. tidak tidak, tidak semua maksud saya. Ya, tidak semua karena ada saya yang salah dalam menjawab. Bukan salah dalam menjawab malah, tapi memang TIDAK TAHU harus menjawab apa. Saya sama sekali tidak mengerti apa yang speaker bicarakan, apalagi speaker berbicara full bahasa Jerman. Dan saya tidak bisa membedakan kapan ia berbicara bahasa bukan angka, dan kapan ia menyebutkan derajat angka yang dimaksud oleh coach.
“ Manda, jawaban nomor 5 ? “ – coach.
“ Ga tau.. ga jelas dengernya apa “ – Kalem.
“ Hah ? “ – Sahut coach dengan wajah seperti terheran karena saya tidak mampu menjawab pertanyaan yang menurut nya MUDAH.

Lagi-lagi… ASEM! Saya menjadi satu-satunya yang paling tidak bisa dalam berbahasa Jerman di kelas.

Sebenarnya, saya sangat menyukai coach, karena beliau sangat lah baik. Beliau sepertinya seumuran dengan abah, beliau pun juga sangat sopan. Tapi, beliau kurang baik dalam menyembunyikan ekspresi terkejut, ekspresi terkejut dalam melihat kebodohan saya terutama. Saya sempat berpikir bahwa mungkin saya adalah orang terbodoh pertama yang beliau temui selama mengajar bahasa Jerman selama berpuluh-puluh tahun ini. Hiks.

Ada ketika beliau menyebut angka 6, lalu orang yang duduknya paling ujung harus mengalikan angka tersebut dengan 2 dan menyebut hasilnya dengan bahasa Jerman. Lalu, orang yang disebelahnya mengalikan hasil tersebut lagi dengan 2, dan seterusnya.
Misal : 6 , 12 , 24 , 48 , 96 , 192 , 384 , 768 , 1536 , dst .
Dan…. saya dapat angka 1.536.

Karena waktu itu lisan, ketika disebelah saya menyebut angka 768, saya sudah terlanjur panik dan tidak ada tenaga untuk mengalikannya dengan 2 di dalam otak saya. Akhirnya saya malah bilang ke orang disebelah saya, “ mas tolong hitungin dong kalau dikali 2 berapa “ , lalu coach nya tertawa. Karena teman yang lain semuanya ngitung sendiri. Setelah dihitungin dan dapat angkanya, saya lalu menyebutkannya dalam bahasa Jerman. Dan itu pun……. salah! (-________-) Asem pangkat seribu.

1536 = Yang benar ->  Eintausendfṻndhundertsechundzwaizig
        Saya menyebut ->Einhundertfṻndtausendsechundzwaizig

Padahal ketika itu saya sudah dengan pedenya menyebut karena memikirkan jawabannya lebih lama dibanding yang lain, pun saya telah membuka buku karena masih belum hapal dengan angka-angkanya (sedang yang lain gada yang buka buku), eh tapi ternyata........ salah juga. 

Pas belajar tentang grammar nya bahasa Jerman juga, saya merasa menjadi yang paling… bodoh. Saking bingungnya, saya sudah ga sungkan-sungkan dan jaim lagi untuk bertanya pada cowok yang duduk disebelah saya. Yang padahal dulu pas pertemuan awal, saya pernah menolak mati-matian pada coachnya untuk ditaruh satu kelompok dengan mas nya (-___-). Padahal saat itu cuman kelompok untuk saling berkenalan dan mengenalkan saja dalam bahasa Jerman.
“ Ee.. kamu, kamu, sama kamu, kalian bertiga satu kelompok ya.. “ – coach yang saat itu menunjuk saya, mas dimas (mas yang td saya ceritakan), dan entah nama mas yang satunya.
“ Ber-ti-ga, pak ? “ – sahut saya cepat sambil menunjuk saya, Riska, dan mba Indry.
“ Engga, kamu sama mereka, manda “ –
“ Eh jangan pak, kan ini juga bisa bertiga, biar mereka berdua aja “ – kata saya cepat karena ga berani satu kelompok dengan mereka karna mereka cowok.
“ Bentar.. yaudah deh, berarti dimas sama xxxxx aja ya “ – kata coach nya menyerah.

Sebenarnya mereka orang baik, kelihatan dari wujud mereka, hanya saja… ya, saya yang aneh. Saya yang terkadang masih takut sendiri dengan laki-laki, apalagi dengan yang belum dikenal. Maaf, kalian hanya korban dari ketakutan saya yang masih belum terlalu bisa untuk saya kontrol. Apalagi si teman Dimas tadi pernah memakai baju koko pas les, mereka benar-benar orang baik kalau menurut saya(?). Oh ya, perbandingan jumlah cowok sama cewek di kelas itu adalah 2 : 1 , cowoknya 10 dan ceweknya 5 orang.

Lah ko nyambungnya kesini to piye

Nah, karena malam ini si Dimas sepertinya lagi ga beruntung karena duduk disebelah saya lagi dan lagi, maka ia terus saya repotkan dengan berbagai pertanyaan karena saya yang tidak mengerti akan materi tadi. Awalnya saya takut untuk berbicara dengannya, tapi karena dia gabawa buku dan dia meminta saya untuk berbagi buku dengannya, maka saya pun ga sungkan-sungkan lagi dalam memanfaatkannya. Simbiosis apa nih namanya yang itu loh saling menguntungkan satu sama lain~

Untung lah si Dimas ini ternyata hebat dalam bahasa Jerman, bahkan ia terlihat seperti sudah level atas dan sangat tidak layak untuk berada di level 1. Pada awalnya dia yang bertanya duluan kepada saya, lah saya hanya bisa menjawab, “ Mas salah nanya orang, saya ini yang paling pemula mas disini, kebalik kita, seharusnya saya yang nanya “ . Dia tertawa. Dan karena kebodohannya itu lah saya jadi mulai banyak bertanya kepadanya tentang pelajaran. Tapi, itu hanya sebentar. Kemudian saya menyadari bahwa dia terlalu pintar sedang saya terlalu bodoh. Lalu saya merasa malu sendiri, dan menghentikan deretan pertanyaan2 saya agar tidak terlihat bodoh2 amat lagi. Malah saya menjadi minder ketika menjawab soal dimana dia lancar dan sangat cepat dalam menjawab, sedang saya kebalikan dari dia, salah dan.. lambat pula.

Ah, pokoknya malam ini sungguh menyakitkan bagi saya. Untuk pertama kalinya saya merasa menjadi yang super paling bodoh. Mungkin kalian tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang yang selalu salah dalam menjawab ketika semua teman kalian yang lain selalu benar dalam menjawab. Kalau bodoh nya tidak terlihat ya masih mending, lah ini karena si coach sangat suka menyuruh setiap anak menjawab secara lisan, ya jadi langsung ketahuan siapa yang bisa dan enggak bisa dalam menjawab. Hiks. Atau kalau bodoh nya secara massal juga masih lebih mendingan, lah ini kalian bodohnya sendirian aja dan dikelilingi oleh orang yang pintar-pintar. Syedih syekali pokoknya. Syakit rasanya.

Apalagi pas pulang, tiba-tiba hujan deras. Tambah syakit hati ini. Tapi ya saya berpikir, saya ingin pulang hujan-hujanan saja malam ini. Sebagai katarsis. Siapa tau bisa kayak di film yang dia sengaja nangis pas lagi hujan deras biar ga ketahuan orang lain. Niat awal saya sih gitu. Eh ternyata… tetap aja ga bisa nangis, walau sesakit hati apapun saya malam ini. Yang ada pas pulang malah kedinginan. Ish.

Tapi.. ketika di pikir-pikir lagi, saya tiba-tiba merasa bersyukur untuk kebodohan diawal ini. Karena kebodohan diawal ini lah saya menjadi sadar dan ingin berusaha lebih keras lagi dalam mempelajari bahasa jerman guna menyusul kemampuan teman-teman yang lain. Kalau di komik sih, biasanya tokoh utama menjadi yang paling bego dulu di awal cerita, lalu dia berusaha keras untuk belajar, dan akhirnya tanpa teman-temannya sadari ia malah lebih maju dibanding yang lain. Berkat usaha kerasnya yang ia lakukan disaat teman-teman lain bersantai karena merasa bukan menjadi yang terbodoh. Dan semoga saya berhasil menjadi seperti sang tokoh utama tersebut. Karena, berkat kebodohan diawal ini lah yang membangkitkan semangat saya untuk menjadi lebih besar lagi, untuk melakukan yang terbaik dari kapasitas yang dimiliki!

Karena ketidakmampuan sekarang lah, semangat terbentuk dan mimpi itu tercipta.

Kalau selalu mendapatkan apa yang diinginkan, mungkin kita tidak akan tergerak untuk mempunyai sebuah impian. Padahal hidup tanpa mempunyai sebuah impian adalah hal yang sangat membosankan, menurut saya. Jadi, bersyukur lah dengan ketidakmampuanmu diawal. Itu akan membuatmu untuk tumbuh menjadi lebih kuat. Semoga saja, aamiin.

Fighting,

0 comments: