Friday, June 22, 2012

Aku ingin terbang - By: Falla Adinda




Dalam perjalanan saya berjalan-jalan di blog, saya menemukan postingan ini di blog ka falla --> http://doctorbebek.blogspot.com/2012/03/aku-ingin-terbang.html . Saya taruh di blog karena saya merasa makna dibalik kisah ini.. sangat mirip dengan diri saya. Alasan kenapa ingin menulis.. ya, untuk mereka yang akan hadir dimasa depan saya. Pasangan, anak, cucu, dan sebagainya. Untuk mereka agar dapat membaca dan mengenal siapa saya. Untuk cucu yang mungkin nanti bisa mengenal saya juga dari tulisan saya walaupun yang menulis ini telah tiada.

Selamat membaca :)




Aku ingin terbang



Aku berlari menaiki bukit itu. Sebuah kampung sunyi dikawasan Pariaman, Sumatera Barat. Tidak ada hal spesial dari bukit itu, hanya jejeran pohon pinus dan terkadang aku masih dapat melihat kancil sedang berlari dengan bebasnya. Tapi tidak sesederhana itu untukku, walau aku masih seorang pelajar laki-laki yang duduk dibangku SD.

Di bukit yang tinggi itu, aku biasa berlari dari bawah dengan kencangnya. Kadang sengaja menjatuhkan diri ke hamparan rumput yang basah oleh embun pagi atau air hujan, berguling-guling di bawah matahari yang sinarnya menembus dedaunan yang rimbun. Dan tepat dipuncak dari bukit itu, aku biasa duduk sembari menunggu pesawat terbang yang lewat. Ya, hanya dari bukit itu aku bisa melihat pesawat yang melintas dengan jelas. Apakah yang bisa aku perbuat? Aku hanya seorang anak dusun sepi penduduk, yang bercita-cita suatu hari bisa mengemudikan burung besi raksasa itu.

Dan bila matahari mulai terik, atau sekiranya Ibu mulai mencariku, aku menuruni bukit itu, lagi-lagi dengan berlari, merentangkan tanganku selebar-lebarnya, berteriak seakan akulah sang pilot. Menuruni bukit dengan ringan seolah terbang, menutup mata dan mengeluarkan gumaman pesawat sembari kembali merajut mimpi. Suatu hari aku harus bisa mengemudikan pesawat.

Dan aku kembali menuruni bukit itu, merentangkan tanganku, lalu kembali kerumah.

---

Bukit itu sekarang hanyalah sebuah kenangan, dusunku yang sepi mulai ramai oleh pembangunan. Bukitku dihancurkan, berganti menjadi beberapa menara pembangkit listrik dan beberapa jajaran pertokoan serta ada kompleks pemukiman baru disitu. Setidaknya itu yang terakhir aku lihat ketika aku pulang kembali ke Pariaman beberapa bulan lalu. Sungguh sebuah pembangunan yang sangat cepat untuk kategori dusun sepi pemduduk seperti itu, tapi baguslah, setidaknya Ibu sekarang tidak terlalu kesusahan ketika ingin mencari bahan pokok untuk Bapak dan adik-adik.

...

Ku kencangkan sabuk pengamanku pada deretan kursi bernomor 18D itu. Memberikan sebaris kabar kepada gadis yang sudah kukenal sejak 8 bulan yang lalu bahwa aku sudah di pesawat, mematikan ponsel yang aku bawa dan mengambil majalah yang tersedia didepanku. Hanya sebuah majalah yang berisi iklan dari layanan penerbangan yang aku tumpangi dan beberapa tempat pariwisata di Indonesia. Masih larut aku dengan isinya, tiba-tiba seorang bapak tua memberikan isyarat untuk masuk menempati kursi disebelahku. Terpaksa aku buka kembali sabuk pengaman itu dan memberikan jalan kepada bapak yang pipinya mulai keriput dan matanya mulai menjadi abu-abu itu. Setelan celana bahan gaya lama dan kemeja serta kacamata tebal juga alat bantu pendengaran yang terpasang di telinganya. Bapak itu tersenyum, mengucapkan terima kasih dengan lembutnya dan duduk disampingku.

Sekilas aku melihat, bapak tua itu memangku sebuah tas berukuran sedang, berbahan dasar kulit berwarna coklat yang lusuh. Mengecek isinya, kemudian menutupnya lagi dan kemudian duduk termangu memandang jendela pesawat yang kami tumpangi. Tak lama setelah itu, pesawat kami tinggal landas, dan kami diselimuti keheningan, selain pramugari yang mulai datang menawarkan minuman.

"Mau kemana, Nak?" Bapak itu bertanya kepadaku, aku tau itu hanya sebuah basa basi untuk mencairkan suasana di penerbangan yang memakan waktu setidaknya 1 jam 15 menit ini, karena bapak itu pasti tau tujuanku adalah kota Padang, sama seperti dirinya.

"Kerumah orang tua, pak.. Bapak sendiri?" Aku menjawab pertanyaan bapak tua itu. Belum sempat pertanyaanku dijawab, bapak itu membetulkan posisi alat bantu pendengarannya dan mulai bercerita mengapa ia sampai terbang ke Padang dengan kondisi sudah setua itu.

"Saya rindu istri dan tempat tinggal saya, anak muda.. Makanya saya terbang jauh dari Jakarta untuk menemui beliau.. Sudah lama saya tidak pulang dan menemui Ibu.." Aku hanya mengangguk, mendengarkan seorang bapak berusia kurang lebih 65 tahun yang menceritakan kerinduannya yang amat sangat kepada kampung halamannya dan orang yang dicintanya. Bapak itu mengeluarkan beberapa postcard dari tasnya,kartu pos dari berbagai negara. Menceritakan sejarah serta tulisan-tulisan ringan tentang cinta yang tertulis dibalik kartu pos tua itu. Ah, surat cinta untuk istrinya rupanya.

"Bapak dulu seorang pilot juga rupanya ya? Wah.." Aku terkagum dengan keromantisan dan isi tulisan di balik kartu pos itu, betapa seorang wanita yang sangat beruntung mendapatkan suami seperti beliau. Bapak itu ku ketahui bernama Sudibjo, dengan istri yang biasa dipanggilnya si pipi rona. Ah indahnya..

"Iya, Nak.. Dan saya biasa membeli sebuah kartu pos di negara tempat saya singgah, menuliskan sebait dua bait kalimat untuk istri saya dikampung, memastikan istri saya tidak lupa bahwa ada seorang pria yang harus dinantinya. Jelek-jelek gini saya dulu gagah lho, Nak.." Bapak itu berkelakar, aku berusaha tertawa dan masih memandangi setumpuk kartu pos yang mulai usang dimakan usia itu.

"Saya juga ingin sekali jadi pilot pak waktu saya kecil. Namun banyak kendalanya, akhirnya ndak jadi pak.."
"Kuliah dimana kamu, anak muda?"
"Di ITB pak, ambil Teknik Kelautan.. Jauh ya pak? Dari yang ingin terbang ke angkasa, sekarang mempelajari lautan lepas.."
"Ah, kamu itu menyia-nyiakan mimpi, kenapa tidak berjuang saja meraih mimpimu, Nak? Bagaimana dengan orang yang kamu cinta? Apa dia sedang menunggumu di bandara?"
"Hmmm.. tidak pak, ia ada di Bandung.. dan saya tidak tau ia menunggu saya kembali atau tidak.." Jawabku sekenanya, seketika otakku dipenuhi oleh sosok seorang gadis manis berambut ikal dan berwajah sendu. Juniorku dikampus walau berbeda fakultas, satu tahun dibawahku. Gadis yang ku kenal ketika tak sengaja berpapasan dengannya di perpustakaan kampus. Sosok yang santun dan ramah kepada semua orang. Dan aku yang terlalu lugu untuk sekedar mengungkapkan kagum.Bodohnya..
"Nak, jadi kamu sudah menyia-nyiakan mimpi, mau dilanjutkan lagi dengan menyia-nyiakan cinta? Belilah sebuah kartu pos, nak ketika sampai di Padang. Tuliskan rasamu dan beri padanya.. Gadis yang pasti cantik itu berhak tau apa yang kamu rasa, setidaknya ia layak tau bahwa ia diperjuangkan pria gagah sepertimu anak muda.."

Aku hanya mengangguk, menghormati seorang bapak tua yang memberi saran yang dimata saya konyol. Bertatapan langsung dan mengutarakan cinta saja tidak pasti diterima, apalagi melalui sebuah kartu pos bergambar rumah gadang yang ku beli di kampung halamanku?

"Ah anak muda jaman sekarang, ditengah kemajuan teknologi, mereka kadang lupa memaknai goresan tangan sendiri.. Dikira ketikan dan tulisan tangan itu sama apa.." Seolah mengerti apa yang ak rasa, bapak itu kembali berkelakar, membuat saya mengambil jeda beberapa detik untuk sedikit berpikir. Peran teknologi yang maju ini, apakah tidak terlalu kuno bagiku untuk menuliskan surat cinta?

"Untuk apa bapak mengarsipkan semua ini?" Tanyaku membuka lagi pembicaraan dengan bapak tua itu. Sembari meminum air putih yang dibawanya, bapak itu menjawab yang membuatku tertegun dengan lumayan lama..
"Nak, ketika ingatanmu dan orang yang kamu cinta terlalu rapuh untuk kembali mengingat, tulisan ini akan mengingatkan kembali, bahwa kita pernah saling mencinta. Ketika tubuh dan raga ini sudah termakan usia, setidaknya, semua tulisan ini bisa menjadi cerita untuk diceritakan kepada anak-cucu kita kelak, mereka bisa membaca kisah cinta orang tuanya, sehingga mereka bisa memaknai cinta dengan lebih dalam, seperti orang tuanya. Jadi ga ada istilah tu kawin-cerai kaya selebritis sekarang itu, Nak.. Ah sudahlah anak muda, kamu masih belum mengerti rupanya. Buat saya mah, tulisan tangan itu penting anak muda, sama pentingnya dengan tulisan tanganmu yang berisi pernyataan cintamu pada gadis impianmu itu.. Jika kamu tidak bilang, kamu tidak akan tau jawabannya, Nak.. Jika ditolak, setidaknya, kamu tidak terbebani oleh rasa penasaran, dan tulisan tanganmu akan selalu ia ingat kelak.."

Aku termangu, memikirkan sosok gadis yang ku tinggalkan di Bandung. Berharap ia dapat tau apa yang aku rasa tanpa aku perlu ungkapkan langsung. Ah, benar rasanya kata bapak ini, aku sudah melewatkan mimpiku untuk menjadi pilot, rasanya aku harus mengejar mimpiku untuk bersama dirinya kelak. Rasanya menuliskan sepatah dua patah kata cinta cukup, semoga saja itu bisa membuatnya sadar akan keberadaanku dan membuka pintu hatinya untukku. Semoga saja..

Aku mendengar pengumuman dari kabin pesawat bahwa pesawat akan segera mendarat. Aku dan si bapak mulai mengencangkan sabuk pengaman, mengambil posisi duduk tegap seperti yang diinstruksikan hingga pesawat sampai kembali ke daratan. Aku membantu si bapak membawa tasnya yang mulai memudar hingga keluar terminal, dan bertanya..
"Apa Ibu sudah menunggu bapak disana?"
Bapak itu tersenyum, menepuk bahuku dan berkata
"Si Pipi Rona sudah meninggal 10 tahun lalu, anak muda.."

0 comments:

Post a Comment

Aku ingin terbang - By: Falla Adinda




Dalam perjalanan saya berjalan-jalan di blog, saya menemukan postingan ini di blog ka falla --> http://doctorbebek.blogspot.com/2012/03/aku-ingin-terbang.html . Saya taruh di blog karena saya merasa makna dibalik kisah ini.. sangat mirip dengan diri saya. Alasan kenapa ingin menulis.. ya, untuk mereka yang akan hadir dimasa depan saya. Pasangan, anak, cucu, dan sebagainya. Untuk mereka agar dapat membaca dan mengenal siapa saya. Untuk cucu yang mungkin nanti bisa mengenal saya juga dari tulisan saya walaupun yang menulis ini telah tiada.

Selamat membaca :)




Aku ingin terbang



Aku berlari menaiki bukit itu. Sebuah kampung sunyi dikawasan Pariaman, Sumatera Barat. Tidak ada hal spesial dari bukit itu, hanya jejeran pohon pinus dan terkadang aku masih dapat melihat kancil sedang berlari dengan bebasnya. Tapi tidak sesederhana itu untukku, walau aku masih seorang pelajar laki-laki yang duduk dibangku SD.

Di bukit yang tinggi itu, aku biasa berlari dari bawah dengan kencangnya. Kadang sengaja menjatuhkan diri ke hamparan rumput yang basah oleh embun pagi atau air hujan, berguling-guling di bawah matahari yang sinarnya menembus dedaunan yang rimbun. Dan tepat dipuncak dari bukit itu, aku biasa duduk sembari menunggu pesawat terbang yang lewat. Ya, hanya dari bukit itu aku bisa melihat pesawat yang melintas dengan jelas. Apakah yang bisa aku perbuat? Aku hanya seorang anak dusun sepi penduduk, yang bercita-cita suatu hari bisa mengemudikan burung besi raksasa itu.

Dan bila matahari mulai terik, atau sekiranya Ibu mulai mencariku, aku menuruni bukit itu, lagi-lagi dengan berlari, merentangkan tanganku selebar-lebarnya, berteriak seakan akulah sang pilot. Menuruni bukit dengan ringan seolah terbang, menutup mata dan mengeluarkan gumaman pesawat sembari kembali merajut mimpi. Suatu hari aku harus bisa mengemudikan pesawat.

Dan aku kembali menuruni bukit itu, merentangkan tanganku, lalu kembali kerumah.

---

Bukit itu sekarang hanyalah sebuah kenangan, dusunku yang sepi mulai ramai oleh pembangunan. Bukitku dihancurkan, berganti menjadi beberapa menara pembangkit listrik dan beberapa jajaran pertokoan serta ada kompleks pemukiman baru disitu. Setidaknya itu yang terakhir aku lihat ketika aku pulang kembali ke Pariaman beberapa bulan lalu. Sungguh sebuah pembangunan yang sangat cepat untuk kategori dusun sepi pemduduk seperti itu, tapi baguslah, setidaknya Ibu sekarang tidak terlalu kesusahan ketika ingin mencari bahan pokok untuk Bapak dan adik-adik.

...

Ku kencangkan sabuk pengamanku pada deretan kursi bernomor 18D itu. Memberikan sebaris kabar kepada gadis yang sudah kukenal sejak 8 bulan yang lalu bahwa aku sudah di pesawat, mematikan ponsel yang aku bawa dan mengambil majalah yang tersedia didepanku. Hanya sebuah majalah yang berisi iklan dari layanan penerbangan yang aku tumpangi dan beberapa tempat pariwisata di Indonesia. Masih larut aku dengan isinya, tiba-tiba seorang bapak tua memberikan isyarat untuk masuk menempati kursi disebelahku. Terpaksa aku buka kembali sabuk pengaman itu dan memberikan jalan kepada bapak yang pipinya mulai keriput dan matanya mulai menjadi abu-abu itu. Setelan celana bahan gaya lama dan kemeja serta kacamata tebal juga alat bantu pendengaran yang terpasang di telinganya. Bapak itu tersenyum, mengucapkan terima kasih dengan lembutnya dan duduk disampingku.

Sekilas aku melihat, bapak tua itu memangku sebuah tas berukuran sedang, berbahan dasar kulit berwarna coklat yang lusuh. Mengecek isinya, kemudian menutupnya lagi dan kemudian duduk termangu memandang jendela pesawat yang kami tumpangi. Tak lama setelah itu, pesawat kami tinggal landas, dan kami diselimuti keheningan, selain pramugari yang mulai datang menawarkan minuman.

"Mau kemana, Nak?" Bapak itu bertanya kepadaku, aku tau itu hanya sebuah basa basi untuk mencairkan suasana di penerbangan yang memakan waktu setidaknya 1 jam 15 menit ini, karena bapak itu pasti tau tujuanku adalah kota Padang, sama seperti dirinya.

"Kerumah orang tua, pak.. Bapak sendiri?" Aku menjawab pertanyaan bapak tua itu. Belum sempat pertanyaanku dijawab, bapak itu membetulkan posisi alat bantu pendengarannya dan mulai bercerita mengapa ia sampai terbang ke Padang dengan kondisi sudah setua itu.

"Saya rindu istri dan tempat tinggal saya, anak muda.. Makanya saya terbang jauh dari Jakarta untuk menemui beliau.. Sudah lama saya tidak pulang dan menemui Ibu.." Aku hanya mengangguk, mendengarkan seorang bapak berusia kurang lebih 65 tahun yang menceritakan kerinduannya yang amat sangat kepada kampung halamannya dan orang yang dicintanya. Bapak itu mengeluarkan beberapa postcard dari tasnya,kartu pos dari berbagai negara. Menceritakan sejarah serta tulisan-tulisan ringan tentang cinta yang tertulis dibalik kartu pos tua itu. Ah, surat cinta untuk istrinya rupanya.

"Bapak dulu seorang pilot juga rupanya ya? Wah.." Aku terkagum dengan keromantisan dan isi tulisan di balik kartu pos itu, betapa seorang wanita yang sangat beruntung mendapatkan suami seperti beliau. Bapak itu ku ketahui bernama Sudibjo, dengan istri yang biasa dipanggilnya si pipi rona. Ah indahnya..

"Iya, Nak.. Dan saya biasa membeli sebuah kartu pos di negara tempat saya singgah, menuliskan sebait dua bait kalimat untuk istri saya dikampung, memastikan istri saya tidak lupa bahwa ada seorang pria yang harus dinantinya. Jelek-jelek gini saya dulu gagah lho, Nak.." Bapak itu berkelakar, aku berusaha tertawa dan masih memandangi setumpuk kartu pos yang mulai usang dimakan usia itu.

"Saya juga ingin sekali jadi pilot pak waktu saya kecil. Namun banyak kendalanya, akhirnya ndak jadi pak.."
"Kuliah dimana kamu, anak muda?"
"Di ITB pak, ambil Teknik Kelautan.. Jauh ya pak? Dari yang ingin terbang ke angkasa, sekarang mempelajari lautan lepas.."
"Ah, kamu itu menyia-nyiakan mimpi, kenapa tidak berjuang saja meraih mimpimu, Nak? Bagaimana dengan orang yang kamu cinta? Apa dia sedang menunggumu di bandara?"
"Hmmm.. tidak pak, ia ada di Bandung.. dan saya tidak tau ia menunggu saya kembali atau tidak.." Jawabku sekenanya, seketika otakku dipenuhi oleh sosok seorang gadis manis berambut ikal dan berwajah sendu. Juniorku dikampus walau berbeda fakultas, satu tahun dibawahku. Gadis yang ku kenal ketika tak sengaja berpapasan dengannya di perpustakaan kampus. Sosok yang santun dan ramah kepada semua orang. Dan aku yang terlalu lugu untuk sekedar mengungkapkan kagum.Bodohnya..
"Nak, jadi kamu sudah menyia-nyiakan mimpi, mau dilanjutkan lagi dengan menyia-nyiakan cinta? Belilah sebuah kartu pos, nak ketika sampai di Padang. Tuliskan rasamu dan beri padanya.. Gadis yang pasti cantik itu berhak tau apa yang kamu rasa, setidaknya ia layak tau bahwa ia diperjuangkan pria gagah sepertimu anak muda.."

Aku hanya mengangguk, menghormati seorang bapak tua yang memberi saran yang dimata saya konyol. Bertatapan langsung dan mengutarakan cinta saja tidak pasti diterima, apalagi melalui sebuah kartu pos bergambar rumah gadang yang ku beli di kampung halamanku?

"Ah anak muda jaman sekarang, ditengah kemajuan teknologi, mereka kadang lupa memaknai goresan tangan sendiri.. Dikira ketikan dan tulisan tangan itu sama apa.." Seolah mengerti apa yang ak rasa, bapak itu kembali berkelakar, membuat saya mengambil jeda beberapa detik untuk sedikit berpikir. Peran teknologi yang maju ini, apakah tidak terlalu kuno bagiku untuk menuliskan surat cinta?

"Untuk apa bapak mengarsipkan semua ini?" Tanyaku membuka lagi pembicaraan dengan bapak tua itu. Sembari meminum air putih yang dibawanya, bapak itu menjawab yang membuatku tertegun dengan lumayan lama..
"Nak, ketika ingatanmu dan orang yang kamu cinta terlalu rapuh untuk kembali mengingat, tulisan ini akan mengingatkan kembali, bahwa kita pernah saling mencinta. Ketika tubuh dan raga ini sudah termakan usia, setidaknya, semua tulisan ini bisa menjadi cerita untuk diceritakan kepada anak-cucu kita kelak, mereka bisa membaca kisah cinta orang tuanya, sehingga mereka bisa memaknai cinta dengan lebih dalam, seperti orang tuanya. Jadi ga ada istilah tu kawin-cerai kaya selebritis sekarang itu, Nak.. Ah sudahlah anak muda, kamu masih belum mengerti rupanya. Buat saya mah, tulisan tangan itu penting anak muda, sama pentingnya dengan tulisan tanganmu yang berisi pernyataan cintamu pada gadis impianmu itu.. Jika kamu tidak bilang, kamu tidak akan tau jawabannya, Nak.. Jika ditolak, setidaknya, kamu tidak terbebani oleh rasa penasaran, dan tulisan tanganmu akan selalu ia ingat kelak.."

Aku termangu, memikirkan sosok gadis yang ku tinggalkan di Bandung. Berharap ia dapat tau apa yang aku rasa tanpa aku perlu ungkapkan langsung. Ah, benar rasanya kata bapak ini, aku sudah melewatkan mimpiku untuk menjadi pilot, rasanya aku harus mengejar mimpiku untuk bersama dirinya kelak. Rasanya menuliskan sepatah dua patah kata cinta cukup, semoga saja itu bisa membuatnya sadar akan keberadaanku dan membuka pintu hatinya untukku. Semoga saja..

Aku mendengar pengumuman dari kabin pesawat bahwa pesawat akan segera mendarat. Aku dan si bapak mulai mengencangkan sabuk pengaman, mengambil posisi duduk tegap seperti yang diinstruksikan hingga pesawat sampai kembali ke daratan. Aku membantu si bapak membawa tasnya yang mulai memudar hingga keluar terminal, dan bertanya..
"Apa Ibu sudah menunggu bapak disana?"
Bapak itu tersenyum, menepuk bahuku dan berkata
"Si Pipi Rona sudah meninggal 10 tahun lalu, anak muda.."

0 comments: